TEMPO.CO, YOGYAKARTA - Pemanfaatan potensi ikan tuna di Laut Selatan, tepatnya di kawasan perairan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), belum optimal. Padahal potensinya mencapai lebih dari 6 ribu ton per tahun. Pada 2010, ikan tuna yang dijaring hanya bisa 881 ton senilai Rp 7, 9 miliar. Setahun kemudian, juga hanya mencapai 961 ton dengan nilai Rp 10, 8 miliar.
"Permasalahannya, kapal-kapal nelayan tidak bisa sampai ke laut lepas, mereka maksimal sampai 12 mil laut saja," kata Sudiyanto, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (31/5). Satu mil laut setara dengan 0,8 kilometer. Padahal, ikan tuna mayoritas berada di laut lepas yang bisa mencapai 120 mil laut dari garis pantai.
Masalahnya, kapal-kapal nelayan Yogyakarta beratnya di bawah 30 grosston dan tidak mampu mengarungi lautan lepas. Ada 4 kapal seberat 30 grosston bantuan pemerintah pusat, namun sayangnya belum bisa dioperasikan secara maksimal.
Ini tentu peluang yang sayang jika dilewatkan. Harga ikan tuna di pasar internasional sedang lumayan tinggi. Daging ikan tunas bisa dijual sampai Rp 14 ribu/kg. Jika ikannya besar, harganya melonjak sampai Rp 50 ribu/kg. Selama ini, hasil tangkapan ikan tuna dari perairan Yogyakarta tidak diekspor langsung. Melainkan disetorkan ke pabrikan pengolah tuna di Cilacap, Jawa Tengah dan Surabaya, Jawa Timur.
Sudiyanto menjelaskan, pengelolaan perairan sejauh 12 mil laut dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten. Sedangkan perairan dari 12 mil laut hingga 120 mil laut dikelola oleh provpinsi. Di luar batas itu merupakan perairan "open access" yang bisa dimanfaatkan oleh nelayan secara nasional dan internasional. "Maksimal, kapal-kapal nelayan kita hanya sanggup berlayar sampai 60 mil laut," kata dia.
Sekarang ini, Indonesia merupakan pengekspor ikan terbesar di Asia Tenggara. Dengan wilayah laut terluas di Asia Tenggara itu, volume ekspor mencapai 141.774 ton. Jika diuangkan mencapai US$ 449 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun per tahun. "Bagi Indonesia, ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan utama," kata Saut P Hutagalung, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Perikanan dan Kelautan.
sumber http://www.tempo.co
"Permasalahannya, kapal-kapal nelayan tidak bisa sampai ke laut lepas, mereka maksimal sampai 12 mil laut saja," kata Sudiyanto, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (31/5). Satu mil laut setara dengan 0,8 kilometer. Padahal, ikan tuna mayoritas berada di laut lepas yang bisa mencapai 120 mil laut dari garis pantai.
Masalahnya, kapal-kapal nelayan Yogyakarta beratnya di bawah 30 grosston dan tidak mampu mengarungi lautan lepas. Ada 4 kapal seberat 30 grosston bantuan pemerintah pusat, namun sayangnya belum bisa dioperasikan secara maksimal.
Ini tentu peluang yang sayang jika dilewatkan. Harga ikan tuna di pasar internasional sedang lumayan tinggi. Daging ikan tunas bisa dijual sampai Rp 14 ribu/kg. Jika ikannya besar, harganya melonjak sampai Rp 50 ribu/kg. Selama ini, hasil tangkapan ikan tuna dari perairan Yogyakarta tidak diekspor langsung. Melainkan disetorkan ke pabrikan pengolah tuna di Cilacap, Jawa Tengah dan Surabaya, Jawa Timur.
Sudiyanto menjelaskan, pengelolaan perairan sejauh 12 mil laut dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten. Sedangkan perairan dari 12 mil laut hingga 120 mil laut dikelola oleh provpinsi. Di luar batas itu merupakan perairan "open access" yang bisa dimanfaatkan oleh nelayan secara nasional dan internasional. "Maksimal, kapal-kapal nelayan kita hanya sanggup berlayar sampai 60 mil laut," kata dia.
Sekarang ini, Indonesia merupakan pengekspor ikan terbesar di Asia Tenggara. Dengan wilayah laut terluas di Asia Tenggara itu, volume ekspor mencapai 141.774 ton. Jika diuangkan mencapai US$ 449 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun per tahun. "Bagi Indonesia, ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan utama," kata Saut P Hutagalung, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Perikanan dan Kelautan.
sumber http://www.tempo.co
0 comments:
Post a Comment